Minggu, 20 Desember 2015

REFORMASI KELEMBAGAAN DAN SISTEM EKONOMI POLITIK | ST-AG BR

Dalam ilmu agama, dikenal istilah ilmu. Ilmu induknya adalah amal. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa segala macam praktek di dunia sosial, politik dan ekonomi dan hukum seharusnya berpucuk pada ilmu (Sains)
tetapi celakanya ilmu-ilmu sosial sejak awal kelahirannya terus berpotensi terpecah-pecah satu sama lainnya dan terdepertemensikan di dalam sekat-sekat pertumbuhan ekonomi sangat menyerahkan diri sehingga tanpak daya analisisnya terhadap fenomena ilmu politik maka sosial dan budaya, hukum dan ekonomi  yang pada dasarnya saling berkaitan, bahkan ilmu-ilmu sosial lainnya yang terpecah-pecah tersebut sebenarnya mempunyai aspek yang sama yakni perilaku dan fenomena masyarakat (publik) , objek yang sama dari paradigma yang berlainan dan tidak singkron satu sama lainnya masing-masing melahirkan analisis yang berbeda-beda bahwa simpang siur dan paradox antara ilmu-ilmu sosial tersebut. Bahkan yang paling riskan terjadinya anatomi korupsi yang dikemukakan oleh 2 pemikir tentang korupsi di negeri ini.
1.      Gunnar, pemenang hadiah nobel ekonomi tahun 1968, ia berpendapat dalam bukunya yang telah menjadi klasik Asian Drama bahwa korupsi di asia selatan dan Asia Tenggara berasal dari penyakit paterasionalisme yaitu warisan budaya diluar kerajaan-kerajaan yang lama dan terbiasa dengan hubungan patroclient (pembersihan) maka dalam konteks tersebut bahwa rakyat biasa atau bawahan berkewajiban memberikan upeti (berlambang menjadi sogok, komisi, amplop, dst). Lebih lanjut karena dalam persfektif kerajaan-kerajaan lama bersifat konkrit dan harus secara materi / kekayaan serta dukungan sejumlah cacah penduduk yang harus dipelihara kesetiannya maka berkembanglah politik uang.
Dalam pemilihan presiden, DPR/DPRD, Gubernur, Walikota/Bupati, Pimpinan Politik dan seharusnya yang sangat menciderai perkembangan sistem politik dalam era reformasi saat ini.
2.      Syed Hussain Alatas seorang pakar sosiologi korupsi, menurut pendapat sementara , beliau melihat bahwa beliau melihat bahwa di Asia korupsi berkaitan dengan warisan dari kondisi historis struktural yang telah berjalan berabad-abad akibat terjadinya resi refresi yang dilakukan oleh penjajah dengan demikian secara terus menerus bangsa ini terbiasa melakukan penyimpangan dari norma, hakikat, UUD 1945 yaitu keadilan sosial yang sebelum menjajah secara utuh dihormati dan dipenuhi pada gilirannya nanti terkabulnya garis pemisah antara yang boleh dan dilarang (halal dan haram) asal terjaga loyalitas terhadap penguasa dan pengulangan yang terus menerus dalam pelanggaran norma lama yang sebenarnya diulang dan negatif.
MenurutNya, dalam masyarakat terdapat berbagai kebijakan anti korupsi namun akhirnya korupsi tersebut diterima sebagai praktek yang tidak dapat dihindarkan karena dirasa terlalu berakar dan terlamapau sulit untuk diberantas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar